Niat Jahat

NIAT JAHAT

CMIIW, dalam hukum pidana, dikenal satu prinsip mendasar: tidak ada pidana tanpa kesalahan, dan kesalahan itu harus dibuktikan melalui unsur niat jahat (mens rea). Unsur ini tidak bisa dilihat secara langsung, tidak bisa ditebak hanya dari ekspresi atau satu kalimat yang viral, atau bahkan banyak-banyakan dukungan dan komentar netizen. Ia harus dibuktikan dengan cermat, dengan konteks, bukti, dan pertimbangan yang mendalam. Maka tidak heran jika di pengadilan, butuh saksi, butuh dokumen, bahkan terkadang butuh analisis ahli untuk menyimpulkan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran pelaku saat itu.

Namun anehnya, dalam media sosial hari ini, prinsip kehati-hatian ini sering ditinggalkan. Orang awam (dan mirisnya orang berpendidikan tinggi) bisa terjebak dengan mudah mengklaim tahu niat dan motif orang lain hanya dari potongan video, caption singkat, atau gesture sesaat. Tuduhan seperti “dia pasti sengaja”, “pasti niat buruk”, atau “jelas dia punya maksud tertentu” , atau “pasti vaksinnya begini dan begitu”, atau “dia pasti maksudnya hanya untuk flexing keterima di berbagai universitas luar negeri”, sering dilontarkan tanpa ragu, menyematkan ‘kepastian’ seolah benar-benar yakin, benar-benar tahu, benar-benar telah melakukan penyelidikan bagaikan hakim dan ahli forensik sekaligus.

Di sinilah pentingnya kembali pada nilai-nilai husnuzan (berbaik sangka), yang sejatinya juga paralel dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum: bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya, dan bahwa niat seseorang tidak bisa kita asumsikan hanya dari permukaan. Baik sangka bukanlah kelemahan, tapi bentuk kedewasaan sosial yang menahan kita untuk tidak gegabah menghakimi.

Kita hidup di era yang sangat cepat dalam menyebarkan informasi—dan juga sangat cepat dalam menyebarkan tuduhan. Maka menjaga nalar hukum dan nurani sosial menjadi penting. Sebelum menuduh seseorang (pasti, dengan kepastian) punya niat buruk, tanyakan pada diri kita sendiri: apakah kita punya bukti yang cukup? Atau hanya asumsi berdasarkan emosi sesaat?

Mari bangun masyarakat digital yang bukan hanya cerdas secara teknologi, tapi juga beretika dalam menyikapi niat dan motif orang lain. Bukan saja bisa merugikan orang lain, tapi bisa membuat kita ‘dikenal’ sebagai orang yang integritasnya rendah, atau bahkan tidak punya integritas.