- Ketika melahirkan anak pertama sengaja di sebuah rumah sakit di kota kelahiran, Alhamdulillah ada ibu yang menemani, dan dan ada paraji yang dikontrak selama 40 hari untuk datang ke rumah setiap pagi dan sore untuk memandikan bayi sehingga ibunya bisa istirahat.
- Ketika melahirkan anak kedua, lagi S2 di Delft, Alhamdulillah ada aja pertolongan-Nya, ada ibunya teman yang datang dari Surabaya memasakkan nasi kebuli Ampel buat syukuran aqiqah. Dan sistem di Belanda mengharuskan adanya perawat yang dikontrak selama 8 hari berfungsi seperti paraji anak pertama, yaitu untuk memandikan bayi, memonitor kondisi umum Ibu (tekanan darah dan temperatur tubuh) serta membantu Ibu beres-beres rumah.
- Ketika mengasuh anak pertama dan kedua dan satu tahun long distance dengan suami, ada Ibu, Bude, Pakde, tetangga yang tiap hari ngajak anak main, gendongin bayi sampai saya bisa mandi, pergi-pergi ngisi siaran radio, ngisi pengajian dengan tenang.
- Ketika melahirkan anak ketiga, masih ada Ibu, ada Bibi. Kemudian disambung S3 Alhamdulillah Bibi membantu banget karena sabar ngasuh anak.
- Ketika melahirkan anak keempat, tahun terakhir S3, masih ada Ibu, ada Bibi yang cukup membantu menjadi supporting system.
- Alhamdulillah semuanya pertolongan dari Allah, merasakan bahwa dibutuhkan orang sekampung dan kebijaksanaan senegara untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak.
Seorang ustadzah pernah menyampaikan bahwa perempuan tidak diciptakan untuk menanggung semua beban sendirian. Perlu pula kita perhatikan doktrin yang jangan-jangan kita sendiri sebagai seorang ibu sedang melakukannya ke anak perempuan kita yakni:
- kamu nanti jadi dokter, atau lawyer, atau engineer, atau dosen agar penghasilannya sekian-sekian, agar bisa kebeli ini itu;
- dan juga jadi istri yang bisa jaga badan, dandan;
- jadi ibu yang bisa diandalkan, masak, ngurus anak;
Perempuan punya penghasilan, badan bagus, wajah cantik, anak-anak keurus. Apakah jiwa perempuan sanggup menanggung semua itu sendirian tanpa bantuan?
Disisi lain, jangan keras kepala menolak bantuan orang lain “megang” anak. Apalagi kalau tujuannya mengejar pandangan orang “hebat anak diurus sendiri”. Buat apa dapat predikat hebat dari orang sementara diri babak belur. Prasangka buruk akan mengundang kenyataan buruk. Merasa hanya diri sendiri yang sanggup pegang anak akan mengundang kelelahan dan emosi tidak karuan.
Dan juga, jangan segan mengulurkan bantuan kepada ibu-ibu lain, untuk mengganti pampersnya, megangin anaknya. Serta tidak mencacati (ngomentarin) ibu-ibu lain, yang gendut, yang jerawatan, yang bajunya itu-itu aja, yang caranya mengasuh anak begini begitu. Jangan nambah-nambahin beban sesama perempuan.
Terakhir, kesibukan ngurus anak tidak ada habisnya. Kalau tidak disiplin meluangkan waktu buat diri sendiri (beribadah kepada Allah, ngaji, belajar) akan merasakan beban hidup semakin berat. At the end of the day, peran diri kita paling pertama itu sebagai hambanya Allah. Kalau penyembahan kepada Allah tidak atau kurang berkualitas bagaimana?
Kalkulasi dengan seksama, komunikasikan dengan suami, keluarkan kata orang kata orang dari bahan pertimbangan. Termasuk kok orang lain bisa begini begitu, realitas orang lain bukan realitas kita. Hidup orang lain bukan hidup kita. Terlalu banyak sawang sinawang orang lain yang keliatan lebih wouw bikin penyakit hati. Silent, ga usah diomong-omong tapi disiplin dan fokus dengan amanah di depan mata. Silent naikkan kompetensi diri. Silent naikkan kualitas ibadah. Punya peer sisterhood yang bisa menaikkan kualitas diri dan kualitas ibadah. Akan ada hasilnya insyaaAllah.