Wawancara ini sangat menarik, terutama jika teman-teman adalah seseorang yang mencari personal value, memaknai ketekunan, kerja keras, dan konsistensi (istiqomah) dalam kebaikan-kebaikan yang teman-teman kerjakan. Tapi entahlah, wawancara ini sekaligus rada menakutkan, takut kalau Norman Finkelstein meninggalkan dunia ini.
Bertahun-tahun, Prof. Norman Finkelstein menjadi segelintir orang yang berbicara tentang ketidakadilan yang dialami warga Palestina. Sendirian, tidak terkenal, tidak kaya, bahkan karir dosennya di universitas kecil tidak terkenalpun dihancurkan oleh Alan Dershowitz (Prof. hukum di Harvard).
Di postingan kemaren (https://www.youtube.com/watch?v=vhFm62msNGc), Prof. Norman Finkelstein mengatakan, “saya melakukan ini (mengangkat isu Palestina dari puluhan tahun lalu) karena saya harus melakukannya, saya tidak tahu bakal menang atau kalah”.
Kemudian Norman Finkelstein mengutip, Prof.Noam Chomsky di usianya yang 95 tahun, masih ngomongin soal Ukraina, masih berdebat soal Ukraina, karena bicara social justice sudah menjadi bagian dalam tulang sumsumnya.
Dalam interview ini Norman menceritakan, teman baiknya dari keluarga terpandang Cohen family, dimana ayahnya seorang dokter, ibunya profesor di sebuah universitas, keluarga yang terpandang, berpakaian selayaknya orang berada, punya karir, dan dihormati di lingkungan. Sementara keluarga Finkelstein adalah keluarga kebanyakan, ayahnya bekerja di pabrik dan ibunya ibu rumah tangga yang menjaga 3 anaknya, karena mereka tak ada sanak keluarga di US. Sebab ayah dan ibu Norman adalah penyintas Holocaust, dimana semua keluarganya habis. Hanya memang dalam keluarga Finkelstein, yang dibahas di meja makan adalah soal social justice, peristiwa apa yang terjadi di dunia. Ayah dan Ibu Norman bahkan memilihkan channel TV yang boleh ditonton anak-anaknya, yang bisa memberikan wawasan dunia. Suatu kali di saat akhir hidupnya karena kanker, teman baik Norman ini mengirimkan email, “Norman dari dulu aku ingin sekali bisa bermain ke rumahmu, karena nampaknya di keluargamu yang dibicarakan hal-hal yang signifikan. Sementara di rumahku yang dibahas soal personal advancement, soal karir saja.“
Disini Norman menceritakan bahwa dirinya tidak tiba-tiba dalam semalam berubah menjadi pembela keadilan (Palestina), tetapi karena secara natural pro truth pro justice itu ada, berlangsung, menjadi bagian dari keluarganya.
Norman menyadari setiap saat Israel bisa plug a play on him, setiap malam setelah selesai menulis, dia emailkan 3 copy ke 3 orang temannya. Jadi kalau ada apa-apa, hasil karyanya ada di 3 tempat/orang berbeda.