Acapkali, kebanyakan kita terjebak kepada hagiography ketika menceritakan shiroh atau ketika mendengarkan shiroh. Bukan analytical shiroh yang sebenarnya sebagaimana sejarah semestinya dipelajari.
Hagiography adalah, dalam benak (dan mungkin hati) kita yang kita bayangkan ini adalah cerita orang-orang suci, mitos, para peri, para malaikat yang hidup di bumi.
Misalnya, ketika bahkan, bahkan membaca literally di dalam Al Qur’an bagaimana ibunda Hajar ditinggalkan di sebuah gurun tandus, tanpa seorang manusiapun disana. Kita kerap gagal berempati bahwa beliau berbentuk manusia seperti kita, punya fisik, punya mental dan punya hati. Punya kebutuhan akan makanan dan minuman. Punya rasa lelah. Punya takut. Bayangkan ketika malam turun. Gurun. Apakah ada ular yang merayap mencari mangsa. Bagaimana dengan angin? dingin.
Tanpa sadar secara hagiography kita seperti fast forward, cepet-cepet membaca atau mendengar kejadian berikutnya. Seolah beliau Ibu Hajar tidak perlu bersabar mengelola rasa takut, pembuktian keimanannya kepada Allah SWT. Seolah, beliau tidak perlu bersabar mengelola kekhawatiran luar biasa terhadap bayi kecil yang dibawanya.
Secara hagiography, kita anggap rasa lapar sim salabim tidak pernah hadir. Rasa takut abracadabra tidak pernah mendera. Semuanya terselesaikan clic sejentikan jari.
Akibatnya, kita mendengarkan Shiroh sebagai only entertainment. Hiburan semata. Kita gagal meniru sabarnya, seolah masalah kita adalah masalah paling besar di dunia, paling menderita di dunia. Padahal, mengapa Allah menurunkan kisah, qasas itu di dalam Al Qur’an? Adalah untuk menguatkan hati kita, bahwa orang sebelum kita juga diberikan ujian-ujian hidup, sebagaimana sebuah kepastian bahwa kita semua kan menjalani ujian hidup. Dan agar, kita dapat mengambil hikmah dan meneladani figur-figur kisah yang Allah berikan.
9 Mei 2023